Jumat, 12 November 2010

MARGINALISASI AGAMA
Artinya:” Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan Mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan Mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
Semakin hari kian terasa bahwa kehidupan manusia makin menjurus kearah pengejaran segala sesuatu yang bermakna fisik-material, di mana dalam kajian sosiologi kecenderungan semacam ini disebut sebagai proses “reifikasi”, yaitu ketika manusia saling mengejar apa saja yang bernilai “material”. Bagi mereka kehidupan ini dimaknai hanya sekedar untuk mengisi “perut” dan memenuhi segala macam kesenangan yang nyaris mengabaikan segala aspek yang berdimensi spiritual.
Agama hampir dapat dipastikan akan mengalami dampak yang cukup mengancam kelangsungan hidupnya, ketika sekularisasi besar-besaran telah menggusur ikatan yang bersifat “sakral, suci dan transenden”, sehingga afinitas keagamaan makin pudar dan luntur, bahkan kadar keberagamaan dapat menghilang sama sekali dalam pergaulan hidup manusia era modern, inilah salah satu ciri dan dampak dari era yang disebut Cak Nur “ Zaman Teknik”.
Memang harus diakui bahwa manusia telah melalui suatu perjalanan panjang dalam pencarian hakekat dan makna hidupnya. Pengalaman demi pengalaman telah dilalui yang pada akhirnya manusia telah sampai kepada puncak kemajuan melalui pengemangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dimana IPTEK mendominasi segala aspek kehidupan.
Kemoderenan selalu identik dengan kehidupan keserbaadaan, sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu cirri umum peradaban maju – yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan sosial masyarakat yang kurang maju atau primitive untuk mencapai tahap yang telah dialami oleh masyarakat maju atau berperadaban.
Mungkin modernitas memang suatu keharusan sejarah manusia, modernisasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam kehidupan, baik individual maupun kemasyarakatan. Tidak kurang filosof eksistensialis menyebut era ini sebagai “kehancuran”, kendatipun membuka berbagai kemungkinan baru. T.S. Elliot menyebutnya sebagai era kecemasan, bahkan bagi para seniman era ini disebut sebagai keterasingan baru dan pemenjaraan yang paling menakutkan.
Jadi memang harus dipahami bahwa zaman modern harus dipandang sebagai suatu kelanjutan yang wajar dan logis, dalam perkembangan kehidupan manusia, yang ditandai oleh kreatifitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia ini, dan harus dipahami pula bahwa betapapun kreatifnya manusia di zaman modern, namun kretifitas itu, dalam perspektif sejarah dunia dan umat manusia secara keseluruhan, masih merupakan kelanjutan hasil usaha (achievement) umat manusia sebelumnya. Karena itulah modernitas sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, lambat ataupun cepat modernitas tentu pasti muncul dikalangan umat manusia, entah kapan dan di bagian mana di muka bumi ini. Jika kebetulan momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat laut sekitar 2 abad yang lalu, maka sebetulnya telah terjadi pula kebetulan serupa sebelumnya, yaitu dimulainya momentum zaman agrarian dari lembah Mesopotamia sekitar lima ribu tahun yang lalu, yang disebut juga sebagai zaman permulaan sejarah, dan zaman sebelumnya disebut zaman prasejarah yang tanpa peradaban, karena itu lembah Mesopotamia dianggap sebagai tempat buaian peradaban manusia.[1]
Bagaimana peran agama di tengah Era Modern (dampak yang ditimbulkan, juga pengaruh yang drastis bagi kehidupan manusia), penulis mencoba untuk mengungkap dalam tulisan ini.
Pembahasan
A. Definisi
Kata modenisasi secara etimologi berasal dari kata modern, kata modern dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah yang berarti: baru, terbaru, cara baru atau mutakhir, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntunan zaman, dapat juga diartikan maju, baik. Kata modernisasi merupakan kata benda dari bahasa latin “modernus” (modo:baru saja) atau model baru, dalam bahasa Perancis disebut Moderne.
Modernisasi ialah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini.[2]
Modernisme adalah pikiran, aliran, gerakan-gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Modernisme dalam kamus bahasa Indonesia berarti pembaharuan, mempunyai padanan kata dalam bahasa Arab tajdid, ashriy, hadits, bukan bid’ah, ibda atau ibtida, yang berarti kebaruan, pembaruan atau pembuatan hal baru, dalam bahasa Inggris Innovation, konotasinya negatif karena secara semantik mengandung arti pembuatan hal baru dalam agama an sich, (dalam Islam misalnya ada ajaran yang bersifat mutlak, tidak dapat diubah tetap ortodoks atau menurut sunnah, terutama dalam hal pokok kredo, kepercayaan, bahkan dalam ibadahpun misalnya shalat shubuh harus dua raka’at, sesuai apa yang dikerjakan Nabi. Jadi yang harus dimodernisasikan dalam Islam adalah pola berpikir terhadap agama yang perlu diperbaharui dalam arti memperbaharui penafsiran-penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran dasar al-Qur’an dan Hadits, sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman).
Adapun modernisasi secara terminologi terdapat banyak arti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dari banyak ahli. Menurut Daniel Lerner, modernisasi adalah istilah baru untuk satu proses panjang – proses perubahan social, dimana masyarakat yang kurang berkembang memperoleh ciri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih berkembang.[3]Light dan Keller, mengartikan modernisasi sebagai perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga dan pandangan yang memindahkan masyarakat tradisional kearah industrialisasi dan urbanisasi.[4] Atau seperti ditegaskan Zanden, modernisasi merupakan suatu proses yang melaluinya, suatu masyarakat beralih dari pengaturan sosial dan ekonomi tradisional atau pra-industrial ke masyarakat yang bercirikan industrial.[5] Industrialisasi sering digunakan dalam arti luas sebagai ekuivalen dengan bentuk modernisasi ekonomi.Definisi senada diungkap Nurcholish Madjid, yang mengatakan bahwa “zaman modern”, adalah “zaman Teknik” (technical Age), bila dilihat dari hakikat intinya, karena pada zaman ini peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme sangat kental, wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yaitu revolusi industri (teknologis) di Inggris dan revolusi Perancis (social politik) di Perancis.[6]
Begitu juga J. Kautsky Jr. mengatakan bahwa modernisasi adalah proses yang melaluinya suatu masyarakat mencapai keyakinan terhadap control rasional dan ilmiah lingkungan fisik dan manusia serta implikasi teknologi yang sesuai dengan tujuannya.[7] Ahli lainnya, Wright berpendapat bahwa biasanya modernisasi harus dibayar dengan harga yang mahal. Harga sosialnya, menurut Weiner adalah timbulnya ketegangan (tension), sakit mental, kekerasan, perceraian, kenakalan remaja, konflik rasial, agama dan kelas, dan juga menurut Wright akan timbul kriminalitas, penyalahgunaan obat, serangan jantung.[8] Serta dapat pula ditambahkan tentu saja adalah stress dan AIDS, dua penyakit yang banyak muncul dalam masyarakat industri modern, tetapi begitu sulit untuk menemukan obatnya.
Munculnya dua penyakit tersebut terakhir ini juga cukup menimbulkan tanda Tanya. Justru ketika manusia makin rasional mereka makin tidak mampu menguasai diri sendiri, yang kemudian menyeret mereka untuk terjerumus kepada perilaku yang aneh dan juga tidak rasional. Di Indonesia misalnya, khusus di Kota Besar dapat disaksikan makin banyaknya orang yang lari dari kenyataan hidup yang serba mekanistik kepada yang berbau “mistik”.Jadi memang, modernisasi merupakan suatu proses yang mengandung banyak segi yang mencangkup perubahan-perubahan dalam semua kawasan pemikiran dan kegiatan manusia.Pengertian lain dari modernisasi dikemukakan oleh R.A Scalapino, yaitu suatu proses di mana suatu masyarakat atau kawasan tertentu menselaraskan diri dengan tuntutan dan kesempatan waktu, dengan tujuan-tujuan memajukan pembangunan ekonomi, harmoni social dan stabilitas politik.[9] Pengamat lainnya mendefinisikan modernisasi sebagai proses perubahan social yang kompleks dari cara hidup dan berpikir tradisional. Modernisasi adalah satu bahagian dari pengalaman universal yang telah terjadi sejak lima abad lalu dan telah pula memasuki kawasan dunia yang berkembang sekitar satu abad yang lalu.
B. Karakteristik Masyarakat Modern-Tradisional Sebuah Analisa Komparatif.Menurut pandangan dikotomik modern-tradisional, Asaf Husain[10], memerinci kedua masyarakat tersebut menjadi:
Masyarakat Tradisional Masyarakat Modern
1. Status Askriptif 1. Status Prestasi
2. Peranan-peranan yang tersebar 2. Peranan Spesifik
3. Nilai-Nilai yang partikularistik 3. Nilai-nilai yang Universalistik
4. Orientasi Kolektif 4. Orientasi diri Sendiri
5. Afektifitas 5. Netralitas Afektif
Sedangkan bagi Abraham[11], melihat karakteristik dari sudut pandang evolusi masyarakat sebagai berikut:
TRADISIONAL TRANSISI MODERN
Berpindah-pindah Dualisme structural yang memungkinkan adanya bajak lembu dengan pesawat terbang Industri
Teknologi primitive - Teknologi Maju
Sumber tenaga yang hidup Kombinasi sumber tenaga serta perubahan budaya, muncul norma modernitas Teknologi maju sumber tenaga yang tidak hidup
Pembagian kerja yang sederhana Industrialisasi Pembagian kerja berdasarkan fungsi
Swasembada unit social Urbanisasi Interdependensi social
Produksi primer Mobilisasi politik Produksi sekunder
Tradisi suci Rekayasa social Sekularisme
Organisasi komunal - Birokrasi impersonal
Solidaritas mekanik - Solidaritas organic
System status berdasarkan keturunan - Mengutamakan prestasi
Semangat gotong royong - Urbanisasi
Cara pandang lain dikemukakan oleh James Robertson[12], yang disebutnya dengan pergeseran paradigma. Seperti pada table berikut:
DARI KE
Pengetahuan ilmiah dan akademis Pemahaman intuitif
Politik perwakilan dan pemerintahan birokratis Politik komunitas dan demokrasi langsung
Ekonomi institusional berdasar uang dan pekerjaan Ekonomi dengan hadiah barter dalam rumah tangga dan masyarakat local
Hubungan berjarak antara professional dengan kliennya Pengalaman bersama secara pribadi
Pelayanan social yang melembaga Hubungan pribadi atas dasar kasih sayang
Kegiatan religius yang terorganisir dan doktrin agama yang terkodifikasi Pengalaman spiritual pribadi
C. Ciri-ciri Zaman Modern
Adapun cirri zaman modern adalah:
1. Penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia.2. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (yang merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak abad XVIII yang menjadikan manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam melalui cara-cara yang tak terhingga)[13] sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia.
3. manusia semakin kreatif, dan kreatifitas manusia bertujuan mencari jalan dalam mengatasi kesulitan hidup di dunia.
D. Ciri Manusia Modern
Menurut Inkeles modernisasi memerlukan perubahan mendasar dalam cara berpikir dan perasaan, yaitu perubahan dalam keseluruhan sikap terhadap problem kehidupan, masyarakat dan alam semesta. Untuk itu Inkeles membagi tujuh cirri khas manusia modern sebagai berikut:
1. Kesiapannya terhadap pengalaman baru dan keterbukaannya untuk menerima inovasi dan perubahan.
2. Ia harus mampu membentuk atau menangani opini berkenaan dengan sejumlah besar masalah dan isu yang timbul baik dari lingkungannya ataupun diluarnya.
3. Ia menunjukkan sikap yang lebih sadar terhadap berbagai sikap dan opini dilingkungannya daripada menutup diri terhadap kenyataan di luar dirinya.
4. Berorientasi pada masa sekarang dan mendatang dari pada ke masa lalu.
5. Ia percaya bahwa manusia dapat belajar untuk menguasai lingkungan untuk memajukan tujuannya sendiri, bukan tunduk pada lingkungan.
6. Ia yakin bahwa dunia ini dapat dikalkulasikan, bahwa orang dan lembaga-lembaga lain di sekitarnya dapat tergantung padanya untuk memenihi dan menemukan kewajiban dan tanggung jawabnya.
7. Ia sangat percaya terhadap keadilan distributive.
Untuk itu Black menyarankan adanya empat masalah pokok yang harus diingat dalam menuju modernisasi:
1. Ditandai oleh betapa pentingnya kemampuan yang relevan dengan modernisasi yang telah dikembangkan masyarakat selama era pra-modern.2. Memandang kemajuan ilmu seperti yang tercermin dalam revolusi ilmu dan teknologi sebagai satu sumber pokok perubahan yang membedakan era modern dengan era-era sebelumnya.3. Menguji kemampuan suatu masyarakat untuk mengambil keuntungan yang mungkin diberikan oleh kemajuan pengetahuan dalam bidang politik, ekonomi dan social.4. Secara kritikal, mengevaluasi penggunaan berbagai kebijakan yang diambil oleh pimpinan politik untuk mengubah warisan lembaga tradisional hingga berguna bagi masyarakat modern serta untuk meminjam secara selektif dari yang lebih modern.
E. Unsur Peradaban Modern
Menurut A.H. Siddiqi, peradaban modern mencangkup beberapa unsure, yaitu: Liberalisme, materialisme, demokrasi atau pemerintahan mayoritas, hubungan bebas (promiskuiti) seksual, dan nasionalisme.[14]
Lerner mengemukakan bahwa aspek modernisai ialah : urbanisasi, industrialisasi, sekularisasi, demokratisasi, pendidikan dan partisipasi media.[15]
F. Dampak dan Masalah Masyarakat Modern
Light dan Keller mengajukan empat dilemma yang dihadapi masyarakat modern, yaitu:
1. Dilema pertumbuhan, meningkatnya pengangguran dan alienasi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi
2. Dilema control, mengontrol perkembangan teknologi.
3.Dilema distribusi, ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin.
4. Dilema peranan kerja, tidak mampu memberikan peranan social yang memadai.[16]
Kehidupan social moden, menurut Poole membawa kontradiksinya sendiri, baginya ia menimbulkan tujuan yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan yang tidak mampu untuk dipenuhi.[17] Bagi agama, modernitas bukan sekedar sesuatu yang bersifat eksternal yang memerlukan penyesuaian atau tidak. Karena modernitas mencangkup suatu perasaan identitas yang berubah dan suatu cara baru menyikapi imej-imej batas. Di Barat, modernitas muncul tidak hanya di kawasan sains dan teknologi tetapi juga memasuki inti tradisi agama itu sendiri.Bagi Islam, modernitas menyebabkan adopsi system politik, hukum dan pendidikan Barat.[18] Sekularisai merupakan tantangan yang memperkecil peranan agama, tetapi ia tidak dapat dihindari. Sekularisme mencangkup “concern” terhadap dunia material daripada kepentingan abadi dan spiritual. Suatu cara berpikir sekuler cenderung menemukan penjelasan tertinggi segala sesuatu dan tujuan akhir umat manusia di dalam batas yang tidak dapat diindera dan ditemukan. Bagi masyarakat beragama, seperti abad pertengahan, sasaran utamanya terletak pada dunia-nanti, pada kehidupan setelah mati. Sedangkan dalam masyarakat sekuler, perhatian tertuju pada “disini dan kini”, biasanya terarah pada penguasaan benda-benda material.[19]Davis menganggap sekularisasi baginya sudah merupakan satu takdir dalam masyarakat modern.[20] Masyarakat industri modern baginya didasarkan pada rasionalisasi dan bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi terus-menerus. Sekularisasi yang mengancam eksistensi agama bermakna ganda “entgollerung” (runtuhnya agama) dan “die entzauberung der welt” (hilangnya magis dari dunia), yang menurut Weber gejalanya adalah:
1. Masyarakat mengalihkan perhatiannya dari usaha-usaha agama “Other Worldly” kepada dunia ini dan menginvestasikan dunia ini dengan signifikansi positif yang baru
2. Masyarakat dengan sendirinya terbebas dari “taman magis” arkaik dan menghilangkan kekudusan dunia, untuk kemudian dimanipulasi menjadi cara yang tidak berkhayal.
3. Sebagai hasil dari pertumbuhan kekayaan dan hedonisme pembangunan yang berhasil maka agama mulai merosot.[21]
G. Marginalisasi Peran Agama di Era Modern
Kemoderenan selalu identik dengan kehidupan keserbadaan. Sedangkan modernisasi merupakan salah satu ciri dari peradaban maju. Modernisasi selalu diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya manusia menjadi mampu menguasai alam dengan memanfaatkan teknologi modern. Masih banyak lagi pengertian modernisasi, namun intinya menurut Lerner, modernisai itu mencangkup : 1) pertumbuhan ekonomi secara mandiri dan berkelanjutan, 2) partisipasi politik, 3) penyebaran norma-norma, 4) tingginya tingkat mobilitas social dan geografis, 5) Transformasi kepribadian.modernitas tersebut menurut Hardgrave gejalanya apat dilihat dalam tiga dimensi: teknologis, organisasional dan sikap. Aspek teknologinya bisa dilacak pada dominasi industrialisasi sehingga masyarakat dapat dibedakan menjadi praindustri dan industri. Sedangkan dimensi organisasional mengejawantah dalam tingkat diferensiasi dan spesialisasi serta menjelma menjadi masyarakat sederhana dan masyarakat kompleks. Di pihak lain pihak segi sikap dalam kemeoderenan mencangkup rasionalitas dan sekularisasi dan pertentangan cara pandang ilmiah lawan magis –religius.Dari pandangan terakhir diatas jelas betapa marginal kedudukan agama dalam madyarakat industri modern. Ada dua corak agama yang memiliki cara yang berbeda dalam merespon tuntutan perkembangan masyarakat, yaitu agama-agama wahyu – yang relative bisa bertahan menghadapi arus gelombang modernisasi seperti Islam, Yahudi dan Kristen juga agama-agama wahyu lain, yang begitu rentan terhadap amukan modernisasi sehingga tidak mampu bertahan.Semua agama mempunyai klaim yang sama, untuk dapat berlaku dalam semua situasi, dalam segala satuan social dan dalam rentangan waktu yang tidak terbatas. Setiap agama memiliki empat isi pokok, yaitu: doktrin, organisasi, ritual dan pemimpin. Kecanggihan unsur-unsur tersebut sangat tergantung pada tingkat kemajuan yang dialami oleh masyarakat pendukungnya. Karena itu agama yang mempunyai tingkat kecanggihan abstraksi yang rendah biasanya sangat mudah terpengaruh oleh perubahan yang dialami pemeluknya.Salah satu penyebab utama merosotnya peran agama dalam peradaban industri modern adalah karena agama dianggap tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material. Bahkan seperti ditandaskan Mahden Ilmuan social Amerika, yang menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi. Agama bagi mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar sejak abad ke-19 seperti dapat dilacak pada pemikiran Comte, Spenser, Marx dan lain-lain.Agama yang mengutamakan kepercayaan akan yang Maha Ghaib, kebersamaan dan berorientasi kepada hidup sesudah mati sangat sulit untuk bisa diterima oleh pemikiran positivistik dan sekularistik, sehingga agama terdepak dari segala aspek kehidupan.Pada sisi lain, krisis peradaban modern, meminjam istilah J.A Camilleri, juga menimbulkan keberantakan yang gejalanya dapat dilihat dalam ketidak seimbangan psiko-sosial, structural, sistematis dan ekologis.Dari dampak yang telah dikemukakan diatas, terlihat jelas peran agama menjadi sangat marginal, karena agama dianggap tidak dapat memberi kontribusi apapun dalam menghadapi tuntutan hidup yang begitu keras dan penuh persaingan. Gejala kemerosotan agama tampak dalam melemahnya doktrin-doktrin yang ada, organisasi agama tidak mampu mengikuti irama dan ritme perubahan social, ritual agama makin sedikit peminatnya, dan pemimpin agama juga menampakkan diri seperti kurang semangat karena tidak berdaya berpacu dengan arus tuntutan hidup budaya materialistic-individualistik, bahkan sangat hedonistik, hal tersebut nampaknya juga merupakan suatu gejala sosial pemimpin agama dewasa ini, dimana sebagian diantara mereka memahami agama secara dangkal, hingga akhirnya “membodohkan umat”.
Agama di lain pihak, dipandang tidak mampu melerai konflik-konflik maupun dis-organisasi sosial bahkan dituding sebagai bermasa bodoh “cuek” terhadap malapetaka kemanusiaan universal.
Namun sebaliknya harus dipahami pula bahwa satu sisi, agamalah yang diharapkan bisa memainkan peranan positif aktifnya dalam mengerem perilaku serakah, brutal, dan mengancam kelangsungan hidup serta mengabaikan sama sekali spiritualitas dan transendentalisme untuk diarahkan kepada kehidupan yang bertatanan ketuhanan, kemanusiaan dan transcendental dalam menuju dunia yang damai dan berperadaban. Disinilah letak peran penting pemimpin agama, untuk dapat menginterpretasi agama, dari berbagai sudut pandang, rasional, universal dan mengejawantah “membumi” sesuai dengan kebutuhan umat dan zaman, hingga agama tidaklah dipandang sebagai momok penghalang dari era modern ini.
Kesimpulan
Upaya preventif, dan menjadi salah satu problem tersulit untuk dihadapi, namun harus menjadi komitmen bersama pemuka agama, adalah mencegah kemerosotan peran agama di tengah era modern ini. Bila ditelaah dari aspek internal upaya pencegahan tergantung pada performance empat isi agama.Pertama, segi doktrin agama, tuntutannya adalah mengupayakan agar ajaran-ajaran agama menjadi kontekstual. Tugas ini tidak gampang. Konservatisme dan ortodoksi pemeluk agama tidak mudah dibelokkan kearah kontekstualisasi. Pola pembelajaran agama (baca: Islam) khususnya, masih terasa kurang diarahkan kepada pembumisasian Qur’an atau membangun “budaya qur’ani”, sebab beberapa fakta dimasyarakat menunjukkan al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan dan aturan hidup muslim, dikenal, dipahami, masih sebatas pada aspek “tahu” (ranah kognitif) atau sebatas ranah ”knowing The Good”, al-Qur’an sebagai landasan hidup, di masyarakat pada umumnya baru sebatas level“hafalan”, artinya tugas bersama umat muslim tanpa terkecuali, untuk bersama memahami (kognitif) secara komprehensif, universal tidak parsial, bukan hanya sebatas pemahaman literal, tetapi lebih dari itu memahami secara radikal apa maksud dari suatu ayat, selanjutnya, pembelajaran al-Qur’an harus menyentuh aspek afektif (dirasakan dan dicintai) ”Loving The Good”, terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari ajaran-ajaran dalam al-Qur’an dalam semua aspek kehidupan (aspek psikomotorik), ”Acting The Good”.
Kedua, pelembagaan agama ke dalam organisasi akan terhadang oleh arus sekularisai yang begitu gigih memutuskan kaitan antara yang profane dengan yang imanen. Agama diputukan hubungannya dengan masalah kenegaraan, karena keberagamaan adalah urusan pribadi yang tidak perlu dicampurtangani oleh pemerintah. Inilah debirokratisasi agama. Kondisi seperti ini tentunya masih perlu dipikirkan kembali.
Ketiga, ritual agama yang dianggap menghambat produktivitas ekonomi masyarakat. Penyegaran ritus agama juga tidak mudah karena harus pula berpegang pada kadar otentisitasnya. Menghindari tuduhan bahwa agama sarat dengan superstisi, takhayul, bid’ah, khurafat dengan sendirinya terkait pada rasionalisasi ritual-ritual agama. Agama yang paling sedikit dan efisien ritualnya akan memiliki masa depan yang lebih baik. Beralihnya orang kepada mistisisme adalah salah satu manifestasi dari proposisis ini.Keempat, aspek kepemimpinan agama, tuntutan terberat adalah pengadaan pemimpin “mumpuni, handal, memiliki kualifikasi keilmuan yang komprehensif, mendalam”, dalam arti memilki penguasaan mendalam terhadap totalitas ajaran agama dan dinamika yang menyertainya serta memilki wawasan dan pemahaman yang memadai pula tentang perikehidupan masyarakat industri modern dengan segala atributnya. Disini ia pun dituntut memiliki kmampuan komunikasi kepada berbagai pihak. Disamping itu, secara personality yang terpenting dari seorang “pemimpin agama” ia harus memiliki “good character”, artinya pemimpin bukan hanya pandai berbicara, namun ia menjadi “uswah hasanah”.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.Abraham, M. Francis, Modernisasi Dunia ke-3, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1984
Davis, W, Religion and Development : Weber and The East Asian Experiance dalam M. Weiner and S.P. Huntington (eds), Understanding Political Development,
Boston: Little Brown and Company, 1987.
DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Harrington, Michael, The Other America,
Baltimore: Penguin Books, 1968.
Hussain, Asaf, Political Perspective in The Muslim World,
London: Mac Millan, 1984.

Huntington, P. Samuel, The Clash Of Civilization and Remaking Of The World, Terj. Benturan Antar Peradaban,
Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2000.
Imtiaz, Modernization and Social Change Among Muslims in India,
New Delhi: Manohar, 1983.
Lerner, Daniel, The Passing Of Traditional Society, Glencoe: Free Press, 1958.
___, International Encyclopedia Of Social Sciences, Vol. 9, 10,
New York: The Macmillan Company and The Free Press, 1968.
Light, Donald Jr, Suzanne Keller, Sociology,
New York: Alfred A. Knopf, 1982.
Madjid, Nurcholish, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.
Mickey., J.P., et. al, A History Of World Society,
Boston: Houghton Mifflin Company, 1984.
Poole, R, Morality and Modernity,
London: Routledge, 1991.
Robertson, James, Alternatif Yang Sesat: Pilihan Untuk Masa Depan, Jakarta: YOI, 1990.
Wrihgt, T.P., Indveted Modernization of Indian Muslims By Revivalists, dalam Imtiaz.
Zanden, Vander, Jame W, The Social Experience An Introduction To Sociology,
New York: Random House, 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar