Kamis, 14 Mei 2009

SOSIALISME

Cita-cita sosialisme
Gagasan bahwa kekayaan dunia ini merupakan milik semua, bahwa pemilikan bersama lebih baik daripada pemilikan pribadi. Pemilikan bersama akan menciptakan dunia menjadi lebih baik, membuat sama situasi ekonimis semua orang, meniadakan perbedaan antara si miskin dan si kaya, menggantikan usaha mengejar keuntungan pribadi dengan kesejahteraan umum. Dengan demikian segala sumber segala keburukan sosial akan dihilangkan, tidak akan ada lagi peperangan, semua orang akan menjadi saudara.
Hak milik pribadi membuat manusia menjadi egois dan akan menghancurkan keselarasan manusai alami. Manusia tentunya bisa digambarkan seperti makhluk hidup yang buas, dan itu akan menyebabkan tidak akan terjadi atau tercapainya suatu cita-cita penghapusan milik pribadi, kewaijban setiap orang untuk bekerja dan hak semua orang, pengorganisasian produksi oleh negara sebagai sarana untuk menghapus kemiskinan dan penghisapan orang kecil.
Keyakinan bahwa kekayaan dan persaingan yang tidak terkontrol niscaya akan mengakibatkan kemiskinan dan krisis yang terus bertambah,

ISLAM DAN KOMUNIS

Oleh : Yandi Fauzi

Sebanyak 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam., sudah semestinya umat ini memegang peran penting dalam kehidupan bangsa. Sudah hampir seribu tahun, di pesisiran Nusantara bertaburan pusat kebudayaan madani Islam yang cergas berniaga. Umat Islam jugalah yang memelopori perlawanan terhadap penjajahan Portugis dan Belanda serta menjadi perintis perjuangan kemerdekaan nasional dengan pembentukan Sarekat Islam. Namun, umat Islam Indonesia menderita serba kekurangan sepanjang zaman penjajahan, sampai-sampai oleh seorang pengamat pernah dijuluki sebagai "kelompok mayoritas yang bermentalitas kelompok minoritas".
Walaupun jumlahnya 90 persen dari penduduk, dalam kehidupan politik, umat Islam Indonesia seakan-akan "minder". Pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia, tokoh dari partai Islam menjadi seorang pemimpin negara atau Presiden, Maka dapat diharapkan, umat mayoritas ini akan menempati kembali kedudukan terkemuka yang layak dalam kehidupan bangsa, tapi sangat disayangkan realisasi harapan ini masih dirintangi oleh kekurangan solidaritas di dalam umat Islam sendiri. Nyatanya, umat mayoritas inilah yang paling keras bereaksi terhadap prakarsa Presiden Abdurrahman Wahid untuk memeriksa kembali Ketetapan Nomor XXV/MPRS/1966. Mungkin tokoh partai Islam lain berat menyaingi kepopuleran Gus Dur di dalam dan di luar negeri, maka dilihatnya kasus ketetapan MPRS ini sebagai "kesempatan". Beradu pendapat secara bebas itu memang satu asas demokrasi, tapi segalanya itu harus dalam kerangka pembelaan keutuhan wadah demokrasi dan negara hukum itu sendiri.
Sedangkan yang menjadi ukuran adalah apakah kritik tertentu itu konstruktif akan mencegah satu kekeliruan, atau destruktif - semata-mata akan menjatuhkan saingan politik. Para tokoh partai-partai Islam adalah para cendekiawan yang paham akan mahal bidang politik modern dalam tatanan demokrasi. Argumentasi Gus Dur mengenai ketetapan MPRS yang amat gamblang itu pasti mereka pahami pula. UUD 1945 tidak memberi peluang untuk melarang satu ideologi, tapi hanya sekadar untuk melarang satu partai -- itu pun tentu hanya setelah memenuhi prosedur hukum yang sah.
Dasar syak wasangka umat Islam terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah karena komunisme itu ateis. Sebenarnya, orang PKI pun ada yang beragama, sedangkan orang ateis di Indonesia ada yang tak berhubungan dengan PKI, bahkan ada yang bermusuhan dengan PKI. Jadi, kalau memang ateisme yang dilawan, malah melesetlah jika yang disasari itu khusus komunisme. Pemojokan orang komunis dengan dalih bahwa mereka anti-Tuhan itu asalnya satu taktik zaman penjajahan yang bertujuan memecah-belah gerakan kemerdekaan nasional dulu. Pokok ajaran komunis itu bukan ateisme, melainkan teori perjuangan kelas.
Agama oleh Karl Marx dipandang sebagai alat kelas penindas untuk meninabobokan kelas tertindas, maka ditentangnya. Marx ternyata keliru. Agama bisa juga memihak kaum tertindas , kita ingat peran mazhab Protestan di Eropa dan agama Islam di Indonesia dalam perjuangan melawan feodalisme pada abad ke-15 dan ke-16. Lihatlah juga kasus "teologi pembebasan" di Amerika Latin pada abad ke-20. Akhirnya, sikap komunis terhadap agama ini-itu sekadar taktik, seperti partai memilih akan berkoalisi dengan siapa. Keberatan hakiki terhadap komunisme sejak dulu bukan ateismenya, melainkan teori perjuangan kelas dengan penumbangan negara lama dan penegakkan "diktatur proletariat". Tapi PKI dulu saja sudah akur dengan "sosialisme ala Indonesia" rumusan Sukarno, yang mereka anggap akan menuju tatanan sosialis mereka tanpa perlu menumbangkan negara RI.
Memang Karl Marx merumuskan teori perjuangan kelasnya di zaman antagonisme kelas abad ke-19, waktu gerakan "kelas proletar" tidak mendapat akses ke proses pemerintahan. Dalam abad ke-20, gerakan buruh di negeri industri disertakan sebagai salah satu sokoguru negara, sehingga tidak lagi antagonis. Setelah Uni Soviet roboh dan perang dingin berakhir, isu "diktatur proletariat" di kalangan komunis sedunia sudah sangat sepi. Dulu sajapun, orang komunis cuma berbahaya ketika dilarang dan dipaksa bergerak di bawah tanah. Tidak nyenyaklah orang tidur, menduga-duga mereka gelap-gelap lagi berbuat apa.
Sedangkan kalau bergerak legal dalam rangka tatanan demokrasi, mereka malah turut memikul tanggung jawab negara. Pada 1965-1966, masyarakat umum tidak menggugat ketika oknum yang diduga sebagai PKI dibantai ratusan ribu orang. Toh itu orang komunis, sangkanya, Belakangan, giliran orang Islam alim-alim yang menjadi korban di Tanjungpriok, Lampung, dan juga di Aceh. Adat bunuh-bunuhan yang "dimasyarakatkan" oleh Orde Baru sebagai cara politik itu adat jahiliyah yang Amat berbahaya untuk nasib bangsa. "Adat" itu mengancam kehidupan orang Islam dan orang Kristen di Maluku, dan merongrong keutuhan Negara Kesatuan Republika Indonesia (NKRI). Jika dibiarkan terus, siapa saja bisa menjamin tak mungkin bersatu saat pengikut Muhammadiyah bunuh-bunuhan dengan Nahdlatul Ulama? Dan lepas dari soal pembunuhan, kalau sekali boleh sewenang-wenang melarang PKI, apakah besok boleh melarang PPP atau Golkar? Tidakkah dulu sudah pernah melarang Masyumi dan PSI? Memang akseptasi terhadap pelanggaran hukum itu serupa jin: sekali boleh menyelinap dari botol, sulit dibuat masuk kembali.
Sejarah masa kejayaan Islam berlawanan sekali dengan gambaran "minder" dan "sektaris" yang suka dilekatkan pada umat islam. Ini tidak saja jelas misalnya dari zaman Harun Al-Rasyid, ketika Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kesenian yang masyhur di seluruh dunia. Kita ingat riwayat Sultan Salah ad-Din, sampai sekarang dikagumi orang Eropa yang menamakannya "Saladin". Beliau mengalahkan balatentara kaum Serani dan menyisihkan mereka dari Palestina, kemudian mempertahankan Jerusalem terhadap serbuan baru dalam Perang Salib Ke-3. Walaupun demikian, beliau dalam sastra dan pustaka sejarah di Eropa dilukiskan sebagai penguasa yang arif bijaksana. Dicatatnya juga perlakuan beliau yang begitu manusiawi terhadap umat non-Islam (terutama Kristen dan Yahudi).
Sejarah Indonesia cukup contohnya akan tokoh Islam yang menjadi teladan. Lihatlah Syekh Yusuf pada abad ke-17. Tidak saja unggul selama memimpin perlawanan Banten terhadap VOC, dalam tawanan pun, dalam pengasingan di Tanjung Harapan, beliau tetap dihormati sebagai pemimpin agama tidak sekadar oleh umatnya sendiri. Orang Eropa di Afrika Selatan turut hormat kepada beliau (yang mereka sebut "Sheik Joseph") sebagai ulama yang arif dan berpengetahuan luas. Dalam pergerakan kemerdekaan, tokoh nasional yang dikenal paling cendekia, paling luas pengetahuannya, mahir delapan bahasa, dan sekaligus tercatat sangat toleran kepada orang yang berbeda pendiriannya justru seorang tokoh Islam, yaitu Haji Agus Salim. Walaupun penduduk masih serba kurang pendidikan, tokoh-tokoh Islam yang sempat bersekolah sejak permulaan pergerakan tidaklah berpandangan sempit. Lihatlah baik Tirto Adisoerjo maupun Tjokroaminoto., Sarekat Islam menjadi wahana yang luas, sampai-sampai PKI itu sendiri terjadi dari salah satu bekas fraksi SI! Walaupun pergerakan lalu berurai atas bunga-rampai arus politik, menghadapi ancaman Perang Dunia II, mereka dapat berpadu kembali: bertemu Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII) dengan Husni Thamrin (Parindra) dan Amir Sjarifoeddin (Gerindo) mengorganisasi Rapat Umum GAPI yang memprakarsai Kongres Rakjat Indonesia 1939, menghayati persatuan Nasasos yang diimingkan oleh Bung Karno.
Kebijakan yang mengandalkan toleransi antara golongan, suku bangsa, dan umat ini benar-benar "kembali ke asal", menghayati kembali gagasan bapak-bapak kemerdekaan yang dulu, sambil menjamin prasarana terbangunnya tamadun politik negara demokrasi sekarang. Bersamaan dengan itu, kebijakan tersebut mencerminkan jiwa kebesaran Islam periode kejayaan negeri "di atas angin" dan tokoh Islam terkemuka dalam pergerakan nasional negeri "di bawah angin".

Jumat, 08 Mei 2009

KEBUTUHAN MANUSIA KEPADA AGAMA

Oleh : Yandi Fauzi (mahasiswa ilmu kesejahteraan sosial FISIP UNPAD)
Bila kita membeli mesin produksi luar negri, maka kita akan diperkenalkan kepada tenga ahli, dan juga kita diberi buku pedoman. Buku pedoman itu berisi tentang penjelasan komponene-komponen dan sisitem kerja dari mesin yang kita beli. Sementara tenaga ahli yang dikirim kepada kita tugasnya adalah untuk melatih, menjelaskan sistem kerja, dan menjelaskan cara memperbaiki bila mesin mengalami kerusakan.
Begitu pula dengan alam semesta, baik langit maupun bumi yang kita tempati, adalah produk ciptaan-NYA yang angat besar. Penciptaan alam semestaitu tentu tidak hanya berdiam diri saja dalam mengenalkan alam raya ciptaan-NYA. Pencipta alam semesta (ALLAH SWT) pasti mengirim buku-buku pedoman (kitab-kitab samawi) dan mengirim para ahli atau juru penerang ( para Rosul).
Seseungguhnya ALLAH, yang menciptakan alam semesta ini, telah menurunkan kitab-kitab samawi yang dibutuhkan manusia untuk memberikan penjelasan tentang penciptaan alam semesta dan hal-hal yang berkaitan dengannya di masa datang. DIA juga mengatur hubungan manusia dengan alam semesta, serta menjelaskan kepada manusi atas hal-hal yang akan membawa kemaslahatan dan hal-hal yang dapat merusak tatanan alam yang di tempatinya.
Sedangkan para Rosul diutus dalam kehidupan ini adalah untuk memberi pengajaran kepada manusia agar mereka senantiasa beramal shalih, bekrja dengan tekun dan menuntut ilmu yang bermanfaaat bagi kehidupan. Para Rosul juga senantiasa menyebarkan cinta kasih, perdamaian, kasih sayang, perlindungan dan kebaikan, serta menjadi tauladan yang baik bagi umat manusia.
Alam semesta ini merupakan ciptaan ALLAH yang begitu besar, dimana manusia bekerja didalamnya. Kalau produk manusia yang kecil saja membutuhkan buku pedoman dan pra tenga ahli yang menjelaskan komponen-komponen tentang produk itu, apalagi dengan produk berupa produk alam semesta dan isinya, tentunya membutuhkan para Rosul dan risalah-risalah samawi yang akurat.
Sesungguhnya agama-agama samawi menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang telah diberi anugrah kemuliaan oleh ALLAH SWT. Anugrah kemuliaan itu bukan diberiakan oleh sesama manusia. Mereka juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hidup ini. Mannusia merupakan khalifah ALLAH intuk kemaslahatan hidup di permukaan bumi, mereka diharapkan dapat memeanfaatkan kekayaaan alam dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Bahkan bukan saja rahasi ayang terkandung di bumi, tetapi juga rahasia-rahasia yang ada luar angkasa. Walaupun agama samawi menjamin hak-hak secara individu, tetapi ada saja segolongan manusia yang berusaha melenyapkan atau mengurangi hak-hak individu trsebut. Seperti yang dilakukan oleh para penguasa yang dzhalim dan sombong. Ketika orang-orang yang berhak dilarang untuk mendapatkan haknya, maka seseungguhnya hak-hak bangsa telah berada dibawah kekeuasaan orang-orang tertentu.
Sesungguhnya agam samawi telah memberikan petunjuk kepada umat manusia bahwa nenek moyang mereka adalah satu, yaitu dari seorang bapak yang bernama ADAM AS dan dari seorang ibu yang bernama SITI HAWA. Oleh karena itu, mereka semua adalah bersaudara. Mereka hidup berdampingan satu sama lain, saling mengenal, saling membantu dan tidak saling membenci.
Maka sudah selayaknya manusia, untuk berhajat kepada agama-agama samawi dalam rangka membersihkan jiwa dan watak mereka, serta untuk mengekang perilaku sewenang-wenang yang diakibatkan oleh kekuatan fisik dan akal pikirannya. Dengan demikina kekuatan fisik dan akal pikiran manusia hanya digunakan untuk kebaikan dan kemakmuran di muka bumi. Seseungguhnya butuhnya jiwa kepada agama samawi adalah sama halanya dengan butuhnya tubuh kepada air, udara dan makanan. Sebagaimana tubuh yang dihidupkan oleh ketiga unsusr tersebut, maka demikian pula seperti jiwa yang dihidupkan dengan agama.

Kamis, 30 April 2009

INDAHNYA DEKAT KEPADA ALLOH SWT

Sebuah ungkapan dalam Al-Quran:الا بذكرالله تطمئن القلوب
Artinya:”Ketahuilah,sesungguhnya dengan berdzikir itu,dapat menenangkan hati.”

Saudaraku, sungguh banyak cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya.Salah satunya dengan memperbanyak berdzikir & mengingat keagungan-Nya.Sungguh indah rasanya bila sebagian waktu yang kita milki, dapat kita sisihkan untuk berdialog & mendekatkan diri kepada Alloh. Orang yang senantiasa berdzikir niscaya akan selalu diliputi dengan cahaya ilahiyah Robbaniyah.Yang mana ketenanganpun akan didapatkan. Namun syarat dari semua itu harus ikhlas & benar-benar berserah diri kepada Alloh, mengharap rahmat-NYA, ampunan-NYA, serta pertolongan-NYA.
Indahnya hidup ini, bila kita senatiasa mengingat kebesaran Alloh. Dengan mentafakkuri segala kebesaran & ciptaan-NYA, niscaya seorang hamba akan senantiasa dekat kepada Alloh.
Rosululloh saw bersabda:

احب عبادا" الذين يراعون الشمس والقمر والأظلة لذكرا" تعالى

Artinya:”Hamba yang paling dicintai Alloh adalah orang-orang yang memperhatikan matahari, bulan dan bayang-bayang untuk mengingat Alloh.”(HR.Ath-Thabrani & Al-Hakim)

Kemudian perhatikanlah bagaimana dan dengan apa Alloh menyebutkan sifat-sifat para hambanya yang sukses.

*QS.Az-Zumar:9:

امن هو قانت انآء اليل ساجدا وقائمايحذرالأخرة ويرجوا رحمة ربه قل هل يستوى الذين يعلمون انما يتذكر اولواالألباب
Artinya:”Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang beruntung, ataukah orang-orang yang beribadah diwaktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada adzab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tak mengetahui?. Sebenarnya hanya orang-orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.”

*QS.As-Sajdah:16:
تتجافا جنوبهم فى المضاجع يدعون ربهم خوفا وطمعا ومما رزقنهم ينفقون


Artinya:”Lambung mereka jauh dari tempat tidur (mereka sujud tunduk patuh kepada Alloh serta khusyu’) mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut & penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rizqi yang kami berikan kepada mereka.

meninjau kembali sistem pemilu

MENINJAU ULANG SISTEM PEMILU
Oleh: Yandi Fauzi (mahasiswa ilmu kesejahteraan sosial fisisp UNPAD)
Kekhawatiran sejumlah kalangan akan kisruh daftar pemilih tetap pemilu legislatif akhirnya menjadi kenyataan. Hak konstitusi warga negara dikorbankan atas nama undang-undang dan peraturan KPU yang kaku, rancu, dan multitafsir. Apa akar masalahnya?
Meski secara umum berlangsung kondusif, antusiasme masyarakat untuk hadir di tempat-tempat pemungutan suara dapat dikatakan merosot drastis dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Sebagian masyarakat perkotaan memilih berlibur. Mereka yang semula antusias, akhirnya urung ke TPS begitu tahu bahwa beberapa anggota keluarga dan tetangga mereka ternyata tidak terdaftar dalam DPT. Solidaritas antarpemilih untuk tidak menggunakan hak politik mereka menjadi besar menghadapi kenyataan bahwa pemerintah dan jajaran KPU tidak merespons berbagai keluhan warga dengan jelas, tepat, dan bertanggung jawab.
Tidak mengherankan jika tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu kali ini lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu 1999 dan 2004. Diperkirakan lebih dari 30 persen pemilih tidak menggunakan hak mereka, baik karena tidak terdaftar dalam DPT, solider terhadap sesama warga yang tidak terdaftar, maupun lantaran kecewa dengan desain format pemilu yang tidak menghargai hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
Sumber kisruh pemilu lainnya adalah perubahan sistem pendataan pemilih, dari stelsel pasif menjadi stelsel aktif. Pada pemilu sebelumnya petugas pendaftar mendatangi pemilih, tetapi sekarang para pemilih harus mendatangi petugas. Perubahan ini terlalu maju untuk Indonesia yang kualitas pelayanan birokrasinya sangat buruk. Masyarakat enggan mendatangi aparat, apalagi hanya sekadar untuk mengecek nama mereka dalam DPS.
Pemerintah dan DPR
Selain KPU, pemerintah dan DPR juga turut bertanggung jawab atas semua kekisruhan pemilu. Tanggung jawab pemerintah dan DPR terletak pada kualitas produk perundangan bidang politik yang kental diwarnai politik dagang sapi antarpartai sehingga UU acap kali hanya mewadahi kepentingan jangka pendek partai-partai. Selaku pembentuk UU, pemerintah dan DPR mengabaikan urgensi pelembagaan sistem pemilu yang sederhana, menjamin hak politik rakyat, dan mudah diimplementasikan. Selain itu, pemerintah dan DPR juga turut bertanggung jawab atas kualitas KPU yang sejak awal menuai kontroversi.
Kelalaian pemerintah lainnya terkait dengan lamban dan tertunda-tundanya pengucuran dana, baik untuk pemutakhiran data pemilih, logistik pemilu, maupun untuk keperluan sosialisasi pemilu. KPU mengeluh soal ini sejak awal, tetapi gagal meyakinkan pemerintah dan DPR akan krusialnya masalah dana. Namun, kelalaian terbesar pemerintah (dan pemerintah-pemerintah daerah) adalah kinerja sangat buruk pendataan penduduk sebagai basis bagi KPU menyusun daftar pemilih sementara (DPS) dan DPT.
Penyakit kronis aparat birokrasi yang memperlakukan pendataan pemilih sekadar sebagai ”proyek” adalah faktor penting di balik terdaftarnya warga yang meninggal, para bayi dan anak-anak, atau tidak terdaftarnya para pemilih pemula. Namun, data pemilih yang amburadul tersebut sebenarnya masih bisa diselamatkan jika jajaran KPU melakukan pemutakhiran dan verifikasi data secara benar dan bertanggung jawab.
Kegagalan KPU
Secara yuridis, KPU format baru sebenarnya memiliki kedudukan yang lebih kuat dan independen dibandingkan dengan KPU sebelumnya. Penguatan dan independensi KPU tersebut disepakati pemerintah dan DPR melalui UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Agar kerja KPU lebih fokus, UU yang sama bahkan mengalihkan urusan logistik pemilu dari komisi ke jajaran Sekretariat Jenderal KPU.
Namun, semua itu tampaknya tak berarti ketika kepemimpinan dan manajerial lemah, kinerja tidak fokus dan tanpa prioritas, serta para anggota komisi gagal mengontrol tanggung jawab mereka masing- masing. Pada gilirannya hal ini membuka peluang intervensi sehingga komisi yang semestinya nonpartisan acap kali dipengaruhi tekanan partai atau kepentingan politik lain di luar komisi.
Kegagalan KPU sudah tampak dari jadwal dan tahapan pemilu yang tak konsisten dan berubah-ubah. Selain tidak serius merespons masukan dan koreksi yang disampaikan kepada mereka, KPU juga gagal mengontrol kinerja jajarannya, KPU provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, kisruh DPT tak tertangani hingga hari-H pemilu.
Perbaikan ke depan
Ke depan, sistem stelsel pasif perlu diberlakukan kembali agar hak politik warga negara yang dijamin konstitusi terlindungi.
Kedua, perlu dirancang sistem administrasi pemilu yang menjamin akurasi data pemilih dengan identitas kependudukan tunggal sehingga pemberian suara cukup dilakukan dengan menunjukkan KTP atau identitas lain. Perubahan atau penyederhanaan perlu dilakukan atas model surat suara dan format berita acara penghitungan suara. Sistem yang rumit justru membuka peluang penyalahgunaan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Ketiga, perlu konsistensi penyederhanaan sistem kepartaian sehingga partai peserta pemilu tidak sebanyak sekarang. Untuk itu, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tak hanya perlu dinaikkan persentasenya, tetapi juga harus diberlakukan di tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Penataan kembali sistem pemilu mutlak diperlukan agar energi demokratik bangsa ini tidak habis hanya untuk soal teknis-prosedural pemilu. Kalau tidak, kapan mayoritas rakyat kita menjemput keadilan dan kesejahteraan jika hak politik paling mendasar saja tidak bisa dilindungi oleh negara?

masalah sosial indonesia

Bagi negara-negara sedang berkembang, masalah ketimpangan distribusi pendapatan pada umumnya dijumpai pada tahap-tahap awal proses pembangunan nasionalnya. Hal itu disebabkan pada tahap tersebut perhatian lebih difokuskan pada usaha mengjar pertumbuhan ekonomi yang pesat melalui peningkatan GNP. Beberapa ahli ekonomi pembangunan memang ada yang berpendapat bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan realita yang harus ditoleril sebagai harga yang perlu dibayar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pendapat tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan adanya realita masih cukup banyaknya penduduk yang tetap hidu dalam kondisi kemiskinan ditengah laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara nasional. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi secara nasional tidak selalu identik dengan lenyapnya kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah bahwa mekanisme tetesan kebawah atau (tricle down effect) yang semula diyakini oleh beberapa pihak sebagai salah satu strategi yang tepat untuk memerangi kemiskinan ternyata tidak selalu berjalan seperti yang diinginkan, disamping itu, menyerahkan prosese kehidupan ekonomi pada mekanisme pasar dalam kenyataannya selalu kurang menguntungkan lapisan sosial ekonomi rendah.
Pertumbuhan yang sangat pesat, mendorong perubahan sosial yang terjadi di dalam struktur masyarakat. Perubahan sosial yang pada umumnya terjadi di kota-kota besar mengakibatkan terjadinya gejolak di dalam struktur masyarakat sebagian masyarakat mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut, akan tetapi sebagian masyarakat pula ada yang kurang mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan tentu akan tersingkir dari sistem atau pola-pola yang berubah. Akibat tidak bisa menyesuaikan tersebut, maka timbullah masalah sosial, Masalah sosial muncul karena individu gagal dalam proses sosialisasi atau karena individu memiliki beberapa cacat dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat. misalnya saja gepeng (gelandangan dan pengemis), Gepeng sebagai salah satu masyarakat yang kurang mampu menyesuaikan dengan perubahan merupakan suatu fenomena yang masih menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum mampu untuk ditemukan pemecahan masalahnya.
Untuk mengetahui sumber masalahnya dijumpai dua jawaban yang berbeda. Yang pertama menyatakan bahwa gepeng adalah kondisi yang disebabkan karena beberapa kekurangan dan kecacatan individual baik dalam biologis, psikologis maupun cultural yang menghalangi seseorang memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Jawaban kedua menunjuk faktor structural sebagai penyebabnya. Seseorang menjadi gelandangan dan pengemis karena berada dalam lingkungan masyarakat yang mempunyai karakteristik sebagai berikut : distribusi penguasaan resources yang timpang, gagal dalam mewujudkan pemerataan kesempatan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, institusi sosial yang melahirkan berbagai bentuk diskriminasi, perkembangan industry dan teknologi yang kurang membuka kesempatan kerja.
Menurut pendekatan pertama, gepeng merupakan akibat dari sifat malas, kurangnya kemampuan intelektual, kelemahan fisik, kurangnya keterampilan dan kurangnya kemampuan menanggapi persoalan di sekitarnya. Pendek kata gepeng lebih dilihat dari cacat dan kelemahan individual. Sebagai misal, karena mempunyai sifat pemalas akan menjadi segan untuk bekerja keras guna meningkatakan taraf kehidupan. Demikian juga karena kemampuan intelektual dan pengetahuannya rendah mengakibatkan kurang mampu mengantisipasi peluang ekonomis yang terbuka. Dilain pihak, pendekatan kedua lebih melihat masyarakat merupakan bagian dari sisitem dan strukturnya sebagai penyebab masalahnya

masalah sosial

Bagi negara-negara sedang berkembang, masalah ketimpangan distribusi pendapatan pada umumnya dijumpai pada tahap-tahap awal proses pembangunan nasionalnya. Hal itu disebabkan pada tahap tersebut perhatian lebih difokuskan pada usaha mengjar pertumbuhan ekonomi yang pesat melalui peningkatan GNP. Beberapa ahli ekonomi pembangunan memang ada yang berpendapat bahwa ketimpangan distribusi pendapatan merupakan realita yang harus ditoleril sebagai harga yang perlu dibayar untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pendapat tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan adanya realita masih cukup banyaknya penduduk yang tetap hidu dalam kondisi kemiskinan ditengah laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara nasional. Dengan perkataan lain, pertumbuhan ekonomi secara nasional tidak selalu identik dengan lenyapnya kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah bahwa mekanisme tetesan kebawah atau (tricle down effect) yang semula diyakini oleh beberapa pihak sebagai salah satu strategi yang tepat untuk memerangi kemiskinan ternyata tidak selalu berjalan seperti yang diinginkan, disamping itu, menyerahkan prosese kehidupan ekonomi pada mekanisme pasar dalam kenyataannya selalu kurang menguntungkan lapisan sosial ekonomi rendah.
Pertumbuhan yang sangat pesat, mendorong perubahan sosial yang terjadi di dalam struktur masyarakat. Perubahan sosial yang pada umumnya terjadi di kota-kota besar mengakibatkan terjadinya gejolak di dalam struktur masyarakat sebagian masyarakat mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan tersebut, akan tetapi sebagian masyarakat pula ada yang kurang mampu untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan tentu akan tersingkir dari sistem atau pola-pola yang berubah. Akibat tidak bisa menyesuaikan tersebut, maka timbullah masalah sosial, Masalah sosial muncul karena individu gagal dalam proses sosialisasi atau karena individu memiliki beberapa cacat dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat. misalnya saja gepeng (gelandangan dan pengemis), Gepeng sebagai salah satu masyarakat yang kurang mampu menyesuaikan dengan perubahan merupakan suatu fenomena yang masih menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum mampu untuk ditemukan pemecahan masalahnya.
Untuk mengetahui sumber masalahnya dijumpai dua jawaban yang berbeda. Yang pertama menyatakan bahwa gepeng adalah kondisi yang disebabkan karena beberapa kekurangan dan kecacatan individual baik dalam biologis, psikologis maupun cultural yang menghalangi seseorang memperoleh kemajuan dalam kehidupannya. Jawaban kedua menunjuk faktor structural sebagai penyebabnya. Seseorang menjadi gelandangan dan pengemis karena berada dalam lingkungan masyarakat yang mempunyai karakteristik sebagai berikut : distribusi penguasaan resources yang timpang, gagal dalam mewujudkan pemerataan kesempatan dalam memperoleh kesempatan pendidikan, institusi sosial yang melahirkan berbagai bentuk diskriminasi, perkembangan industry dan teknologi yang kurang membuka kesempatan kerja.
Menurut pendekatan pertama, gepeng merupakan akibat dari sifat malas, kurangnya kemampuan intelektual, kelemahan fisik, kurangnya keterampilan dan kurangnya kemampuan menanggapi persoalan di sekitarnya. Pendek kata gepeng lebih dilihat dari cacat dan kelemahan individual. Sebagai misal, karena mempunyai sifat pemalas akan menjadi segan untuk bekerja keras guna meningkatakan taraf kehidupan. Demikian juga karena kemampuan intelektual dan pengetahuannya rendah mengakibatkan kurang mampu mengantisipasi peluang ekonomis yang terbuka. Dilain pihak, pendekatan kedua lebih melihat masyarakat merupakan bagian dari sisitem dan strukturnya sebagai penyebab masalahnya

pembangunan kesejahteraan sosial indonesia

Dengan semakin terbukanya era globalisasi yang terjadi akhir-akhir ini, mengakibatkan semua aspek kehidupan harus dipersiapkan untuk bersaing dalam globalisasi tersebut. Dengan kondisi seperti ini, diprediksi bahwa isu-isu permasalah sosial akan semakin berkembang, karena terjadi benturan-benturan kepentingan di antara aspek-aspek kehidupan manusia. Suatu kenyataan bahwa hasil dari benturan-benturan kepentingan dimaksud pada akhirnya akan membawa dampak sosial dan pada akhirnya menimbulkan permasalahn sosial. Permasalahan politik berujung pada permasalahan sosial, permasalahan ekonomi berujung pada permasalahan sosial, persoalan hukum berujung dengan permasalahan sosial, persoalan teknologi berujung dengan permasalahan sosial, dan lain-lain. Tetapi, tidak pernah terjadi bahwa permasalahan ekonomi berakhir dengan permasalahan politik dan berhenti hanya di situ saja. Tetapi, dipastikan akan berakhir dengan permasalahan sosial.
Pada situasi seperti ini, permasalah sosial akan semakin bertambah dan bervariasi, tidak hanya masalahan sosial konvensional yang kita tangani selama ini, seperti permasalahan kemiskinan, tuna susila, lanjut usia, tetapi berbagai permasalahan sosial baru seperti pemutusan hubungan kerja, tawuran, kerusuhan antar etnis, kesewenang-wenangan, penghakiman sendiri, termasuk di dalamnya permasalahan kelompok masyarakat mulai dari kelompok kelas bawah hingga kelompok elit, seperti disharmonisasi keluarga, stress, dan lain-lain. Sudah barang tentu permasalahan sosial seperti ini sangat bervariasi.
Di masa mendatang, permasalahan sosial ini akan semakin komplek dan besar dan selalu terkait dengan isu-isu yang lainnya. Karena itu, isu-isu tersebut sepertinya harus diantisipasi perkembangnnya sehingga permasalahan sosial tidak menyebar dan berkembang apa lagi membawa dampak yang lebih besar, yang ujung-ujungnya akan berdampak pada disfungsi sosial.
Pembangunan sosial di Indonesia, hakekatnya merupakan upaya untuk merealisasikan cita-cita luhur kemerdekaan, yakni untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasca kemerdekaan, kegiatan pembangunan telah dilakukan oleh beberapa rezim pemerintahan Indonesia. Mulai dari rezim Soekarno sampai presiden di era ini yakni Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang terpilih dalam pemilihan umum langsung pertama.
Namun demikian, harus diakui setelah beberapa kali rezim pemerintahan berganti, taraf kesejahteraan rakyat Indonesia masih belum maksimal. Pemenuhan taraf kesejahteraan sosial perlu terus diupayakan mengingat sebagian besar rakyat Indonesia masih belum mencapai taraf kesejahteraan sosial yang diinginkannya. Upaya pemenuhan kesejahteraan sosial menyeruak menjadi isu nasional. Asumsinya, kemajuan bangsa ataupun keberhasilan suatu rezim pemerintahan, tidak lagi dilihat dari sekedar meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi. Kemampuan penanganan terhadap para penyandang masalah kesejahteraan sosial pun menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Seperti penanganan masalah; kemiskinan, kecacatan, keterlantaran, ketunaan sosial maupun korban bencana alam dan sosial.
Kemajuan pembangunan ekonomi tidak akan ada artinya jika kelompok rentan penyandang masalah sosial di atas, tidak dapat terlayani dengan baik. Bahkan muncul anggapan jika para penyandang masalah sosial tidak terlayani dengan baik, maka bagi mereka kemerdekaan adalah sekedar lepas dari penjajahan?. Seharusnya “kemerdekaan adalah lepas dari kemiskinan?.
Untuk itu pembangunan bidang kesejahteraan sosial terus dikembangkan bersama dengan pembangunan ekonomi. Tidak ada dikotomi di antara keduanya. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Nancy Birdsal (1993) yang mengatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah juga pembangunan sosial. Tidak ada yang utama diantara keduanya. Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara, namun pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, tetap tidak akan mampu menjamin kesejahteraan sosial pada setiap masyarakat. Bahkan pengalaman negara maju dan berkembang seringkali memperlihatkan jika prioritas hanya difokuskan pada kemajuan ekonomi memang dapat memperlihatkan angka pertumbuan ekonomi. Namun sering pula gagal menciptakan pemerataan dan menimbulkan menimbulkan kesenjangan sosial. Akhirnya dapat menimbulkan masalah kemiskinan yang baru. Oleh karenanya penanganan masalah kemiskinan harus didekati dari berbagai sisi baik pembangunan ekonomi maupun kesejahteraan sosial.
ISU-ISU KRITIS DALAM PEMBANGUNAN SOSIAL
Pembahasan tentang isu aktual akan memiliki arti fungsional apabila dibahas dalam kaitannya dengan kejadian atau permasalahan tertentu, dengan demikian isu itu akan menjadi jelas dan memiliki arti yang penting.
Secara sederhana isu atau issue diartikan sebagai sebuah pokok persoalan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1996 bahwa isu adalah (a) masalah yang dikedepankan untuk ditanggapi; (b) kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya atau desa-desus. Terhadap sebuah isu, kita dapat membicarakannya, menghindarinya, menghadapinya, memecahkan persoalannya dan kemudian mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang relevan dengan isu tersebut dalam rangka pencapaian tujuan organisasi atau unit kerja secara lebih baik. Terhadap sebuah isu perlu dilakukan penggalian atau pencarian informasi secara mendalam untuk mendapatkan fakta yang sebenarnya. Contoh sebuah isu adalah adanya indikasi semakin rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat, pola kekerasan pembinaan mahasiswa IPDN banyak yang ditutup-tutupi atau kurang transparan, dan lain sebagainya. Yang perlu mendapat perhatian lagi dari isu-isu pembangunan sosial yaitu masalah kemiskinan, Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus
urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit. Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia.
Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung
berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi;(10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Markus (2004) mengatakan bahwa dalam pembangunan kesejahteraan sosial” ada sejumlah kecenderungan global yang saling terkait yaitu: (1) demokrasi, hak asasi manusia, dan kesadaran lingkungan, (2) kebangkitan civil society, (3) efisiensi pemerintahan (reinventing government, good governance), (4) debirokratisasi dan otonomi daerah, (5) etika bisnis dan (6) kebangkitan dan pemberdayaan masyarakat akar rumput.
Dalam penerapan desentralisasi, terdapat beberapa masalah penting, yaitu: (1) masalah dualisme ekonomi, yaitu industri modern dianak-emaskan, sedangkan ekonomi rakyat dianggap sebagai benalu yang harus disingkirkan, (2) masalah kontrol politik, di mana pemerintah pusat sebagai pembuat dan perumus kebijakan (role making), sedang pemda berkewajiban melaksanakan (role playing), (3) masalah bantuan sosial dengan masyarakat lokal, di mana pemda lebih mengutamakan kepentingan pemerintah dan investor dari pada kepentingan masyarakat, (4) kebijakan dan strategi pembangunan di daerah masih belum didasarkan pada profesionalisme SDM; (5) pemmerataan pembangunan antara desa dan kota; (6) keterbatasan dan kemampuan SDM; (7) masalah penggalian dan pemanfaatan sumber daya; (8) keharmonisan program antara departemean atau dinas terkait; (9) egoisme sektoral; (10) berbagai peraturan (deregulasi) yang bertentangan dengan kebijakan pusat; (11) penempatan SDM belum didasarkan pada profesionalisme.
Ada beberapa tantangan dan masalah yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Daerah di masa mendatang, yaitu: (1) pelaksanaan otonomi daerah dan upaya pengembangan sistem implementasi UU No. 32 tahun 2004; (2) menurunkan tingkat kemiskinan yang jumlahnya semakin besar dan penanganan isu-isu strategik dan global, seperti: ketenagakerjaan, integrasi sosial, lingkungan hidup, HAM, demokratisasi, kesetaraan jender, kemitraan global, dan sebagainya; (3) perlunya kajian baru untuk melihat arah, orientasi dan bentuk program pembangunan kesejahteraan sosial; (4) peningkatan peran serta masyarakat dalam semua kegiatan.
Tantangan strategik untuk membangun masa depan Indonesia yang sejahtera, meliputi: (1) memelihara integrasi sosial dalam konteks NKRI, (2) memperbaiki kualitas manusia dengan meregulasi semua aspek kehidupan bangsa, (3) memiliki strategi pelaksanaan dengan menempatkan manusia sebagai sumber daya dan mengutamakan pelayanan kemanusiaan secara efisien dan (4) melakukan audit sosial berdasarkan masalah nyata dan sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal.
Sasaran Millenium Development Goals (MDGs) mengamantkan kepada kita bahwa dalam kurun waktu 1990 hingga 2015 kita harus bahu membahu dalam menangani berbagai permasalahan berikut, yaitu: (a) eradicate extreme poverty and huger; (b) achieve universal primary education; (c) promote gender equality and empowerment;
(d) reduce child mortality; (e) improve maternal health; (f) combat HIV/AIDS, malaria and other diseases; (g) ensure environtmental sustainability; (h) develop a global partenrship for development.
Kita menyadari bahwa pencapaian sasaran MDGs ini adalah merupakan hal yang cukup berat dan harus ditangani secara bersama-sama baik antar lembaga atau departemen terkait bahkan antar negara baik regional maupun internasional. Bagaimana amanat MDGs ini dapat diterjemahkan ke dalam berbagai program dan kegiatan kongkrit oleh masing-masing negara atau departemen/lembaga. Ini adalah menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak hanya Departemen Dalam Negeri, atau Departemen Sosial tetapi semua Departemen atau lembaga yang ada termasuk masyarakat. Dalam sebuah negara, kita dapati dua sektor yaitu: sektor formal dan informal. Sektor formal mencakup sektor pemerintah dan swasta. Sektor formal inilah yang memiliki hubungan dengan berbagai organisasi antarpemerintah dan korporasi multi nasional. Sedangkan sektor informal terdiri dari berbagai komunitas dan kelompok kecil yang transaksi sosial serta ekonominya tidak masuk dalam statistik akunting publik. Sektor informal ini diabaikan dan dilangkahi para pembuat kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang formal serta pihak-pihak yang menjalankan proyek.
Walaupun terdapat banyak contoh kebrhasilan pendekatan terhadap pembangunan ekonomi dan sosial semua ini kebanyakan terjadi di sector informal. Kadang ada organisasi-organisasi sektor informal yang telah berhasil menemukan, mendayagunakan, serta mengorganisir berbagai inisiatif komunitas untuk dijadikan model pemaubangunan sosial dan ekonomi ala Buddhis. Dari berbagai organisasi tersebut yang paling saya kenali adalah Gerakan Sarvodaya Shramadana dari Sri Lanka yang telah bereksperimen dengan model ini selama 40 tahun terakhir ini. Dalam makalah ini, saya akan merujuk pada Gerakan ini untuk menunjukkan betapa praktisnya pendekatan Buddhis terhadap pembangunan sosial dan ekonomi, bahkan di jaman modern ini sekalipun, khususnya di wilayah pedesaan.