Kamis, 14 Mei 2009

SOSIALISME

Cita-cita sosialisme
Gagasan bahwa kekayaan dunia ini merupakan milik semua, bahwa pemilikan bersama lebih baik daripada pemilikan pribadi. Pemilikan bersama akan menciptakan dunia menjadi lebih baik, membuat sama situasi ekonimis semua orang, meniadakan perbedaan antara si miskin dan si kaya, menggantikan usaha mengejar keuntungan pribadi dengan kesejahteraan umum. Dengan demikian segala sumber segala keburukan sosial akan dihilangkan, tidak akan ada lagi peperangan, semua orang akan menjadi saudara.
Hak milik pribadi membuat manusia menjadi egois dan akan menghancurkan keselarasan manusai alami. Manusia tentunya bisa digambarkan seperti makhluk hidup yang buas, dan itu akan menyebabkan tidak akan terjadi atau tercapainya suatu cita-cita penghapusan milik pribadi, kewaijban setiap orang untuk bekerja dan hak semua orang, pengorganisasian produksi oleh negara sebagai sarana untuk menghapus kemiskinan dan penghisapan orang kecil.
Keyakinan bahwa kekayaan dan persaingan yang tidak terkontrol niscaya akan mengakibatkan kemiskinan dan krisis yang terus bertambah,

ISLAM DAN KOMUNIS

Oleh : Yandi Fauzi

Sebanyak 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam., sudah semestinya umat ini memegang peran penting dalam kehidupan bangsa. Sudah hampir seribu tahun, di pesisiran Nusantara bertaburan pusat kebudayaan madani Islam yang cergas berniaga. Umat Islam jugalah yang memelopori perlawanan terhadap penjajahan Portugis dan Belanda serta menjadi perintis perjuangan kemerdekaan nasional dengan pembentukan Sarekat Islam. Namun, umat Islam Indonesia menderita serba kekurangan sepanjang zaman penjajahan, sampai-sampai oleh seorang pengamat pernah dijuluki sebagai "kelompok mayoritas yang bermentalitas kelompok minoritas".
Walaupun jumlahnya 90 persen dari penduduk, dalam kehidupan politik, umat Islam Indonesia seakan-akan "minder". Pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia, tokoh dari partai Islam menjadi seorang pemimpin negara atau Presiden, Maka dapat diharapkan, umat mayoritas ini akan menempati kembali kedudukan terkemuka yang layak dalam kehidupan bangsa, tapi sangat disayangkan realisasi harapan ini masih dirintangi oleh kekurangan solidaritas di dalam umat Islam sendiri. Nyatanya, umat mayoritas inilah yang paling keras bereaksi terhadap prakarsa Presiden Abdurrahman Wahid untuk memeriksa kembali Ketetapan Nomor XXV/MPRS/1966. Mungkin tokoh partai Islam lain berat menyaingi kepopuleran Gus Dur di dalam dan di luar negeri, maka dilihatnya kasus ketetapan MPRS ini sebagai "kesempatan". Beradu pendapat secara bebas itu memang satu asas demokrasi, tapi segalanya itu harus dalam kerangka pembelaan keutuhan wadah demokrasi dan negara hukum itu sendiri.
Sedangkan yang menjadi ukuran adalah apakah kritik tertentu itu konstruktif akan mencegah satu kekeliruan, atau destruktif - semata-mata akan menjatuhkan saingan politik. Para tokoh partai-partai Islam adalah para cendekiawan yang paham akan mahal bidang politik modern dalam tatanan demokrasi. Argumentasi Gus Dur mengenai ketetapan MPRS yang amat gamblang itu pasti mereka pahami pula. UUD 1945 tidak memberi peluang untuk melarang satu ideologi, tapi hanya sekadar untuk melarang satu partai -- itu pun tentu hanya setelah memenuhi prosedur hukum yang sah.
Dasar syak wasangka umat Islam terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah karena komunisme itu ateis. Sebenarnya, orang PKI pun ada yang beragama, sedangkan orang ateis di Indonesia ada yang tak berhubungan dengan PKI, bahkan ada yang bermusuhan dengan PKI. Jadi, kalau memang ateisme yang dilawan, malah melesetlah jika yang disasari itu khusus komunisme. Pemojokan orang komunis dengan dalih bahwa mereka anti-Tuhan itu asalnya satu taktik zaman penjajahan yang bertujuan memecah-belah gerakan kemerdekaan nasional dulu. Pokok ajaran komunis itu bukan ateisme, melainkan teori perjuangan kelas.
Agama oleh Karl Marx dipandang sebagai alat kelas penindas untuk meninabobokan kelas tertindas, maka ditentangnya. Marx ternyata keliru. Agama bisa juga memihak kaum tertindas , kita ingat peran mazhab Protestan di Eropa dan agama Islam di Indonesia dalam perjuangan melawan feodalisme pada abad ke-15 dan ke-16. Lihatlah juga kasus "teologi pembebasan" di Amerika Latin pada abad ke-20. Akhirnya, sikap komunis terhadap agama ini-itu sekadar taktik, seperti partai memilih akan berkoalisi dengan siapa. Keberatan hakiki terhadap komunisme sejak dulu bukan ateismenya, melainkan teori perjuangan kelas dengan penumbangan negara lama dan penegakkan "diktatur proletariat". Tapi PKI dulu saja sudah akur dengan "sosialisme ala Indonesia" rumusan Sukarno, yang mereka anggap akan menuju tatanan sosialis mereka tanpa perlu menumbangkan negara RI.
Memang Karl Marx merumuskan teori perjuangan kelasnya di zaman antagonisme kelas abad ke-19, waktu gerakan "kelas proletar" tidak mendapat akses ke proses pemerintahan. Dalam abad ke-20, gerakan buruh di negeri industri disertakan sebagai salah satu sokoguru negara, sehingga tidak lagi antagonis. Setelah Uni Soviet roboh dan perang dingin berakhir, isu "diktatur proletariat" di kalangan komunis sedunia sudah sangat sepi. Dulu sajapun, orang komunis cuma berbahaya ketika dilarang dan dipaksa bergerak di bawah tanah. Tidak nyenyaklah orang tidur, menduga-duga mereka gelap-gelap lagi berbuat apa.
Sedangkan kalau bergerak legal dalam rangka tatanan demokrasi, mereka malah turut memikul tanggung jawab negara. Pada 1965-1966, masyarakat umum tidak menggugat ketika oknum yang diduga sebagai PKI dibantai ratusan ribu orang. Toh itu orang komunis, sangkanya, Belakangan, giliran orang Islam alim-alim yang menjadi korban di Tanjungpriok, Lampung, dan juga di Aceh. Adat bunuh-bunuhan yang "dimasyarakatkan" oleh Orde Baru sebagai cara politik itu adat jahiliyah yang Amat berbahaya untuk nasib bangsa. "Adat" itu mengancam kehidupan orang Islam dan orang Kristen di Maluku, dan merongrong keutuhan Negara Kesatuan Republika Indonesia (NKRI). Jika dibiarkan terus, siapa saja bisa menjamin tak mungkin bersatu saat pengikut Muhammadiyah bunuh-bunuhan dengan Nahdlatul Ulama? Dan lepas dari soal pembunuhan, kalau sekali boleh sewenang-wenang melarang PKI, apakah besok boleh melarang PPP atau Golkar? Tidakkah dulu sudah pernah melarang Masyumi dan PSI? Memang akseptasi terhadap pelanggaran hukum itu serupa jin: sekali boleh menyelinap dari botol, sulit dibuat masuk kembali.
Sejarah masa kejayaan Islam berlawanan sekali dengan gambaran "minder" dan "sektaris" yang suka dilekatkan pada umat islam. Ini tidak saja jelas misalnya dari zaman Harun Al-Rasyid, ketika Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kesenian yang masyhur di seluruh dunia. Kita ingat riwayat Sultan Salah ad-Din, sampai sekarang dikagumi orang Eropa yang menamakannya "Saladin". Beliau mengalahkan balatentara kaum Serani dan menyisihkan mereka dari Palestina, kemudian mempertahankan Jerusalem terhadap serbuan baru dalam Perang Salib Ke-3. Walaupun demikian, beliau dalam sastra dan pustaka sejarah di Eropa dilukiskan sebagai penguasa yang arif bijaksana. Dicatatnya juga perlakuan beliau yang begitu manusiawi terhadap umat non-Islam (terutama Kristen dan Yahudi).
Sejarah Indonesia cukup contohnya akan tokoh Islam yang menjadi teladan. Lihatlah Syekh Yusuf pada abad ke-17. Tidak saja unggul selama memimpin perlawanan Banten terhadap VOC, dalam tawanan pun, dalam pengasingan di Tanjung Harapan, beliau tetap dihormati sebagai pemimpin agama tidak sekadar oleh umatnya sendiri. Orang Eropa di Afrika Selatan turut hormat kepada beliau (yang mereka sebut "Sheik Joseph") sebagai ulama yang arif dan berpengetahuan luas. Dalam pergerakan kemerdekaan, tokoh nasional yang dikenal paling cendekia, paling luas pengetahuannya, mahir delapan bahasa, dan sekaligus tercatat sangat toleran kepada orang yang berbeda pendiriannya justru seorang tokoh Islam, yaitu Haji Agus Salim. Walaupun penduduk masih serba kurang pendidikan, tokoh-tokoh Islam yang sempat bersekolah sejak permulaan pergerakan tidaklah berpandangan sempit. Lihatlah baik Tirto Adisoerjo maupun Tjokroaminoto., Sarekat Islam menjadi wahana yang luas, sampai-sampai PKI itu sendiri terjadi dari salah satu bekas fraksi SI! Walaupun pergerakan lalu berurai atas bunga-rampai arus politik, menghadapi ancaman Perang Dunia II, mereka dapat berpadu kembali: bertemu Abikoesno Tjokrosoejoso (PSII) dengan Husni Thamrin (Parindra) dan Amir Sjarifoeddin (Gerindo) mengorganisasi Rapat Umum GAPI yang memprakarsai Kongres Rakjat Indonesia 1939, menghayati persatuan Nasasos yang diimingkan oleh Bung Karno.
Kebijakan yang mengandalkan toleransi antara golongan, suku bangsa, dan umat ini benar-benar "kembali ke asal", menghayati kembali gagasan bapak-bapak kemerdekaan yang dulu, sambil menjamin prasarana terbangunnya tamadun politik negara demokrasi sekarang. Bersamaan dengan itu, kebijakan tersebut mencerminkan jiwa kebesaran Islam periode kejayaan negeri "di atas angin" dan tokoh Islam terkemuka dalam pergerakan nasional negeri "di bawah angin".

Jumat, 08 Mei 2009

KEBUTUHAN MANUSIA KEPADA AGAMA

Oleh : Yandi Fauzi (mahasiswa ilmu kesejahteraan sosial FISIP UNPAD)
Bila kita membeli mesin produksi luar negri, maka kita akan diperkenalkan kepada tenga ahli, dan juga kita diberi buku pedoman. Buku pedoman itu berisi tentang penjelasan komponene-komponen dan sisitem kerja dari mesin yang kita beli. Sementara tenaga ahli yang dikirim kepada kita tugasnya adalah untuk melatih, menjelaskan sistem kerja, dan menjelaskan cara memperbaiki bila mesin mengalami kerusakan.
Begitu pula dengan alam semesta, baik langit maupun bumi yang kita tempati, adalah produk ciptaan-NYA yang angat besar. Penciptaan alam semestaitu tentu tidak hanya berdiam diri saja dalam mengenalkan alam raya ciptaan-NYA. Pencipta alam semesta (ALLAH SWT) pasti mengirim buku-buku pedoman (kitab-kitab samawi) dan mengirim para ahli atau juru penerang ( para Rosul).
Seseungguhnya ALLAH, yang menciptakan alam semesta ini, telah menurunkan kitab-kitab samawi yang dibutuhkan manusia untuk memberikan penjelasan tentang penciptaan alam semesta dan hal-hal yang berkaitan dengannya di masa datang. DIA juga mengatur hubungan manusia dengan alam semesta, serta menjelaskan kepada manusi atas hal-hal yang akan membawa kemaslahatan dan hal-hal yang dapat merusak tatanan alam yang di tempatinya.
Sedangkan para Rosul diutus dalam kehidupan ini adalah untuk memberi pengajaran kepada manusia agar mereka senantiasa beramal shalih, bekrja dengan tekun dan menuntut ilmu yang bermanfaaat bagi kehidupan. Para Rosul juga senantiasa menyebarkan cinta kasih, perdamaian, kasih sayang, perlindungan dan kebaikan, serta menjadi tauladan yang baik bagi umat manusia.
Alam semesta ini merupakan ciptaan ALLAH yang begitu besar, dimana manusia bekerja didalamnya. Kalau produk manusia yang kecil saja membutuhkan buku pedoman dan pra tenga ahli yang menjelaskan komponen-komponen tentang produk itu, apalagi dengan produk berupa produk alam semesta dan isinya, tentunya membutuhkan para Rosul dan risalah-risalah samawi yang akurat.
Sesungguhnya agama-agama samawi menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang telah diberi anugrah kemuliaan oleh ALLAH SWT. Anugrah kemuliaan itu bukan diberiakan oleh sesama manusia. Mereka juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam hidup ini. Mannusia merupakan khalifah ALLAH intuk kemaslahatan hidup di permukaan bumi, mereka diharapkan dapat memeanfaatkan kekayaaan alam dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Bahkan bukan saja rahasi ayang terkandung di bumi, tetapi juga rahasia-rahasia yang ada luar angkasa. Walaupun agama samawi menjamin hak-hak secara individu, tetapi ada saja segolongan manusia yang berusaha melenyapkan atau mengurangi hak-hak individu trsebut. Seperti yang dilakukan oleh para penguasa yang dzhalim dan sombong. Ketika orang-orang yang berhak dilarang untuk mendapatkan haknya, maka seseungguhnya hak-hak bangsa telah berada dibawah kekeuasaan orang-orang tertentu.
Sesungguhnya agam samawi telah memberikan petunjuk kepada umat manusia bahwa nenek moyang mereka adalah satu, yaitu dari seorang bapak yang bernama ADAM AS dan dari seorang ibu yang bernama SITI HAWA. Oleh karena itu, mereka semua adalah bersaudara. Mereka hidup berdampingan satu sama lain, saling mengenal, saling membantu dan tidak saling membenci.
Maka sudah selayaknya manusia, untuk berhajat kepada agama-agama samawi dalam rangka membersihkan jiwa dan watak mereka, serta untuk mengekang perilaku sewenang-wenang yang diakibatkan oleh kekuatan fisik dan akal pikirannya. Dengan demikina kekuatan fisik dan akal pikiran manusia hanya digunakan untuk kebaikan dan kemakmuran di muka bumi. Seseungguhnya butuhnya jiwa kepada agama samawi adalah sama halanya dengan butuhnya tubuh kepada air, udara dan makanan. Sebagaimana tubuh yang dihidupkan oleh ketiga unsusr tersebut, maka demikian pula seperti jiwa yang dihidupkan dengan agama.